Powered By Blogger

Hit Counter (jumlah pembaca)

Senin, 24 Mei 2010

Puisi Patah Hati

Puisi Patah hati sebenarnya bukan ditujukan untuk mengeluarkan isi hati si pengarang, melainkan untuk mendukung dan menyemangati org2 yg sedang patah hati, agar bisa selalu tegar dan kuat...
Berikut Puisi Patah Hati yang saya copy paste dari Multiply.

Aku sudah tak bisa menangis...
karena sudah tak ada air mata lagi...
aku sudah tak bisa berdoa...
karena sudah tak ada kata lagi...
aku sudah tak bisa berusaha...
karena sudah tak ada kekuatan lagi...

kenapa kamu masih belum mengerti...
apa arti dirimu untukku...
kenapa kamu masih belum sadar...
apa arti hadirmu untukku...
kenapa kamu masih belum melihat...
apa arti KAMU untukku....

bisakah kamu sadar ?? mengerti?? melihat??
apalagi merasa??...
memang aku hanya mondar mandir di depanmu setiap hari...
memang aku hanya jadi teman biasa untukmu..
tapi cobalah sadar, mengerti, lihat, dan rasakan...
apa arti KAMU bagiku...

sudah lah....
aku tak kuat lagi...
maafkan aku kalau aku membisu...
bukan karena aku lelah...
bukan karena santunku hilang...
tapi memang...
hati ini sudah tak mengerti hadirmu...
hati ini sudah mencapai batas untuk terus maju...
hati ini sudah tak bisa lagi menjadi yang terbaik bagimu...

tapi ya biarlah yang berlalu, berlalu...
dan aku akan selalu menunggu di sini dalam kesunyian...
kembali menatapi apa yang harus ku cari...
dan memang ada yang lebih baik untukmu....

sumber pastinya: http://diyass.multiply.com/journal/item/1/puisi_patah_hati

Stigmata


St Fransiskus Assisi (1181 - 1226)


St Padre Pio dari Pietrelcina (1887-1968)

*Sebelumnya, bacanya diblog dlu tulisannya ya

Saya mengagumi St Padre Pio. Saya tahu ia dianugerahi stigmata, tetapi saya mengalami kesulitan dalam menjelaskan stigmata itu kepada teman-teman Protestan.
~ seorang pembaca di Manassas


Stigmata adalah tanda luka-luka Yesus yang tersalib, yang muncul secara tiba-tiba pada tubuh seseorang. Termasuk dalam tanda sengsara ini adalah luka-luka paku di kaki dan tangan, luka tombak di lambung, luka di kepala akibat mahkota duri, dan luka bilur-bilur penderaan di sekujur tubuh, teristimewa di punggung. Seorang stigmatis, yaitu orang yang menderita akibat stigmata, dapat memiliki satu, atau beberapa, atau bahkan semua tanda sengsara itu. Stigmata dapat kelihatan, dapat pula tidak kelihatan; dapat permanen, dapat pula sementara waktu saja.

Sebagian orang yang tidak percaya, akan menghubungkan tanda luka-luka yang demikian, yang muncul atas diri seseorang, dengan suatu penyakit atau bahkan dengan suatu kondisi psikologis tanpa memikirkan gagasan adikodrati. Tentu saja, Gereja juga pertama-tama berusaha memastikan bahwa luka-luka tersebut bukan berasal dari sebab-sebab alamiah, dan mencari bukti adikodrati guna membuktikan bahwa stigmata tersebut sungguh merupakan suatu tanda dari Tuhan. Gereja juga hendak memastikan bahwa stigmata tersebut bukanlah suatu tanda dari setan guna membangkitkan suatu kegemparan rohani yang menyesatkan orang banyak. Oleh sebab itu, karena stigmata merupakan suatu tanda persatuan dengan Tuhan kita yang tersalib, seorang yang benar-benar stigmatis haruslah hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan dengan gagah berani, tabah dalam menanggung penderitaan baik fisik maupun jiwa, dan hampir senantiasa mencapai tingkat persatuan ekstasis dengan-Nya dalam doa.

Tanda luka-luka dari stigmata yang benar itu sendiri juga berbeda dari luka-luka yang timbul akibat penyakit: Stigmata yang benar, sesuai dengan luka-luka Tuhan kita, sedangkan luka-luka yang timbul akibat penyakit akan muncul secara acak pada tubuh. Stigmata yang benar, mencucurkan darah teristimewa pada hari-hari di mana dikenangkan Sengsara Yesus (misalnya pada hari Jumat dan Jumat Agung), sementara luka-luka yang timbul akibat penyakit tidak demikian. Stigmata yang benar, memancarkan darah yang bersih serta murni, sedangkan yang timbul akibat penyakit memancarkan darah yang disertai nanah. Darah yang memancar dari stigmata yang benar, sekali waktu dapat terpancar dalam jumlah besar tanpa mencelakakan sang stigmatis, sedangkan yang berasal dari penyakit akan melemahkan orang secara serius hingga diperlukan transfusi darah. Stigmata yang benar, tak dapat disembuhkan baik melalui medis ataupun perawatan lainnya, sedangkan yang timbul akibat penyakit dapat disembuhkan. Yang terakhir, stigmata yang benar, muncul secara tiba-tiba, sedangkan yang timbul akibat penyakit muncul perlahan-lahan seturut periode waktu dan dapat dihubungkan dengan penyebab psikologis dan fisik yang utama.

Para stigmatis yang benar, mengalami keterkejutan atas munculnya stigmata. Tanda ini bukanlah sesuatu yang mereka “mohon dalam doa”. Terlebih lagi, dalam kerendahan hati, seringkali mereka berusaha menyembunyikannya agar tak menarik perhatian orang terhadap dirinya.

Stigmatis pertama “yang dinyatakan sah” adalah St Fransiskus dari Assisi (1181 - 1226). Pada bulan Agustus tahun 1224, ia dan beberapa biarawan Fransiskan lainnya mengadakan perjalanan ke Mount Alvernia di Umbria, dekat Assisi, untuk berdoa. Di sana, St Fransiskus memohon untuk diperkenankan ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus. Pada Pesta Salib Suci, 14 September 1224, St Fransiskus mendapat penglihatan: ia dipeluk oleh Yesus yang tersalib. Sengsara dari Jumat Agung yang pertama tercurah atas dirinya, dan ia menerima stigmata. St Fransiskus berusaha menyembunyikan tanda karunia ilahi ini dari yang lainnya, dengan membalut kedua tangannya dengan jubahnya dan mengenakan sepatu serta kaus kaki (yang tidak biasa ia lakukan). Lama-kelamaan, rekan-rekan biarawan memperhatikan perubahan dalam cara berpakaian St Fransiskus dan juga sengsara fisiknya, maka terungkaplah rahasia stigmatanya. Pada akhirnya, atas nasehat para rekan biarawan, St Fransiskus mulai membiarkan stigmatanya terlihat orang lain. St Fransiskus mengatakan, “Tak suatupun yang memberiku penghiburan begitu besar selain dari merenungkan hidup dan sengsara Tuhan kita. Andai aku hidup hingga akhir jaman, aku tak akan membutuhkan buku lain.” Sudah tentu, kasih St Fransiskus kepada Tuhan kita yang tersalib, yang diungkapkannya melalui perhatiannya kepada mereka yang malang dan menderita, mendatangkan karunia stigmata baginya.

St Katarina dari Sienna (1347-1380), yang dianugerahi pengalaman-pengalaman mistik dan penglihatan-penglihatan sejak ia masih berusia enam tahun, juga dianugerahi stigmata. Pada bulan Februari 1375, ketika mengunjungi Pisa, ia ikut ambil bagian dalam Misa di Gereja St Kristina. Setelah menyambut Komuni Kudus, ia tenggelam dalam meditasi mendalam, sementara matanya menatap lekat pada salib. Sekonyong-konyong, dari salib datanglah lima berkas sinar berwarna merah darah yang menembusi kedua tangan, kaki dan lambungnya, mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa hebat hingga ia jatuh tak sadarkan diri. St Katarina dari Sienna menerima stigmata, yang hanya tampak olehnya saja, hingga sesudah akhir hayatnya.

Mungkin stigmatis yang paling termasyhur adalah St Padre Pio. Ia dilahirkan pada tahun 1887, dianugerahi penglihatan-penglihatan sejak umurnya masih lima tahun, dan sejak usia dini telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan. Padre Pio masuk biara Kapusin Fransiskan pada tahun 1903 dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1910. Katanya, “Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku.”

Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan di mana ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian, pada tanggal 20 September 1918, saat ia memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa, ia juga menerima luka-luka Tuhan kita di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah; luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Pula, bukannya bau darah, melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-lukanya.

Sepanjang hidupnya, Padre Pio memahami benar kedahsyatan sengsara Juruselamat kita akibat tangan-tangan mereka yang berada di dalam maupun di luar Gereja, juga akibat setan. Walau demikian, Padre Pio mengatakan, “Aku ini hanyalah suatu alat dalam tangan Tuhan. Aku berguna hanya jika dikendalikan oleh Penggerak Ilahi.” Stigmata tinggal dalam tubuh Padre Pio hingga akhir hayatnya. Paus Paulus VI berkata tentangnya, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita.”

Tak banyak dari antara para kudus yang dianugerahi stigmata; dan mereka yang dianugerahinya, seperti St Fransiskus, St Katarina dan St Padre Pio, memahami secara mendalam sengsara Tuhan kita. Sementara stigmata mungkin membangkitkan rasa takjub kita, tanda itu sendiri dan mereka yang menderitanya hendaknya menjadi inspirasi bagi kita dalam mengejar persatuan yang lebih mesra dengan Tuhan kita, teristimewa dengan sering menerima Sakramen Tobat dan menyambut Ekaristi Kudus.

sumber: http://yesaya.indocell.net/id922.htm

Kamis, 20 Mei 2010

gtw namanya apa..puisi kah ?

Di Manakah Cinta ?

Di manakah cinta?
Apabila cinta bermain akrobat di belakangku…
Bila cinta bersembunyi di balik selimut palsu
Bila wajahnya pun bersembunyi di balik topeng
Sehingga belaian hanyalah sebuah bayangan semu

------

Di manakah cinta?
Bila bibir seperti sayat belati…
Bila mata seperti api menjalar..
Bila langkah menjadi terseret-seret
Sehingga terhempas debu dan angin kencang

------

Di manakah cinta?
Bila cinta memuntahkan kata-katanya tepat di depan bibir…
Bila cinta memaki aku dipinggir ketidaktahuanku…
Menusuk jantungku dengan sakratisnya…
Sehingga jantung ini merintih sibuk mengais-ngais darah…

------

Di manakah cinta?
Bila kemunafikan dibalik segalanya…
Bila kebohongan bermain dengan bebasnya…
Bila kepalsuan menjadi sahabatnya…
Sehingga merobohkan setiap sudut hati…

------

Di manakah cinta?
Bila semuanya menjadi salah…
Bila tangisan menggema dalam setiap langkah…
Bila jeritan hati diacuhkan..
Sehingga semua terkalahkan oleh kepalsuan semata…

------

Di manakah cinta?
Apabila sang cinta menjilat sendiri kata-katanya…
Kemudian dimuntahkannya kata-kata itu tepat di wajahku…
Meninggalkan jejak kotor di sela-sela tangisku…
Sukses dia mempora-porandai aku yang haus akan kasih sayangnya…

------

Lalu…
Setelah semua itu terjadi…
Aku masih bertanya-tanya…
Di manakah cinta?
Bila kejujuran digusur oleh kebohongan…
Bila senyuman diganti oleh tangisan…
Dan bila pertanyaan dibunuh oleh pernyataan…

Di manakah cinta?

crita..

halo . . . . saia sang peng copas mo copas cerpen nih... heheeh

Bilakah Aku Mampu Bersabar

Selasa. Pagi. Saat mentari kembali menertawakan bumi.

Aku bergegas pergi ke sekolah untuk mengambil ijazah. Sabtu kemarin punya teman-temanku sebagian sudah diambil. Ada yang tinggi, pun juga ada yang rendah. Inilah hikmah. Sebuah perbedaan yang tidak akan pernah berakhir. Perbedaan yang tidak mengenal kasta, tidak mengenal rupa, tidak mengenal bentuk, tidak mengenal wujud. Ia akan selalu ada di mana saja. Kapan saja.

Entahlah, semakin aku mengingat nilai ijazah teman-temanku, semakin kuat pula rasa penasaranku untuk melihat nilai ijazahku sendiri. Seperti apakah nilainya. Puaskah aku menerima hasilnya. Atau jangan-jangan… Aku malah kecewa dan tidak sabar menerima semuanya. Suaraku membatin.

Seperti biasa, aku naik mobil angkotan. Sekitar satu jam aku sampai di persimpangan jalan. Di sana aku turun dan langsung berjalan menuju sekolah. Sesampainya di halaman depan sekolah aku bertemu dengan guru agama. Kuberi salam, lalu kucium tangannya. “Nak. Kamu kalau bertemu dengan para ulama, kiyai, juga guru kamu, baik di sekolah, di tempat pengajian ataupun di mana saja. Ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.” Ya. Seperti itulah mendiang Abah selalu mengingatkanku sebelum aku berangkat sekolah. Setiap hari.

Sejenak aku diajak ngobrol oleh guru agama itu.

“Dek Wafie… Menurut Adek pantas gak agama islam itu dikatakan sebagai agama teroris?” Panggilan adek sudah biasa bagi semua siswa di sekolah ini. Guru yang satu ini memang terkenal sangat bersahabat, sopan, menghormati sesama, baik yang tua maupun yang muda. Dan anehnya, semua murid tidak diizinkan memanggil dirinya dengan sebutan ‘Bapak Guru’. Beliau lebih senang dipanggil mas.

“Yah, cukup mas saja!” Jawab beliau ketika baru masuk ke sekolah ini.

Sejak itulah aku dan teman-teman juga semua siswa di sini akrab dengan beliau dari pada guru lainnya yang kebanyakan sering menganggap dirinya lebih tahu, pintar dan mengerti. Nah, guru yang satu ini, tidak! Beliau selalu merendah diri. Ramah-tamah. Baik kepada murid, pun juga kepada sesama guru yang lain. Bijaksana.

“Loh, emang agama islam itu disebut-sebut sebagai agama teroris tah, mas!” Aku terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan guru agama tersebut. Karena sebelum-sebelumnya aku tidak pernah mendengar orang mengatakan agama islam itu adalah agama teroris. Baru sekarang. Saat ini.

“Eh, adek gak tahu ya. Kemarin saya baca buku yang di dalamnya disebutkan, bahwa agama islam itu adalah agama teroris. Agama yang ingin merusak, menghancurkan dan memberantas agama lain.” Jawabnya.

Entahlah, aku tidak langsung menimpali penjelasan tersebut. Aku masih bingung. Merasa aneh. Sejenak aku berpikir, apakah benar agama islam telah menjadi agama teroris bagi agama-agama lain. Ataukah agama lain yang berwajah teroris bagi agama islam. Ah, tahulah. Aku masih kaku menafsirkan kebenaran dan kenyataan itu.

Sejurus kemudian, guru agama yang berdiri di dekatku berkata lagi.

“Nah, penyebab timbulnya argumen, bahwa agama islam itu teroris dititik beratkan kepada ulah para penganut islam itu sendiri, Dek! Seperti Imam Samudra, Amrozi, dkk. Terus juga ketika gedung WTC di Amerika runtuh, katanya diprakarsai oleh Osama Bin Laden. Makanya waktu itu Osama diincar oleh pasukan Amerika, bahkan diumumkan keseluruh dunia; barang siapa yang menemukan Osama hidup ataupun mati, maka akan dibayar dengan ribuan juta dollar.” Sambungnya.

Kali ini. Tanpa berpikir panjang aku langsung menimpali ungkapannya. Mungkin juga aku marah. Atau tidak terima karena agamaku sendiri “islam” disebut bahkan dikutuk seperti itu.

“Terus… Mas percaya?” Suaraku agak keras.

Beliau sedikit terperanjat mendengar pertanyaanku itu. Kemudian dengan khas senyumnya beliau pun menjawab.

“Percaya atau tidaknya itu kan tergantung bagaimana kita bisa melihat dan menemukan kenyataan yang sebenarnya, Dek! Kalau ternyata apa yang saya baca itu salah. Iya kenapa toh kita harus percaya, mungkin saja agama lain ingin menjelek-jelekkan agama kita. Dan kalau pun benar, nah ini yang seharusnya perlu kita re-interpretasi. Perlu kita pertanyakan kembali. Mengapa saudara-saudara kita berani melakukan tindakan konyol. Atas dasar apa mereka bertindak seperti itu. Bukankah tindakannya malah akan membawa nama jelek agamanya sendiri, yaitu; islam.” Jelasnya.

“Iya. Iyah! Aku sejutu ucapkan mas itu. Tapi apakah kita akan terus berdiam diri. Tutup mulut. Bungkam. Jika kabar tersebut sudah merajalela. Kan nantinya, malah agama kita (islam) yang dijadikan objek kambing hitam agama mereka. Khususnya agama selain islam.”

Sebentar beliau diam. Tidak langsung menjawab pertanyaanku. Apakah beliau sedang berpikir, atau mencari jawab yang pas. Aku tidak tahu!

Dan kemudian, beliau pun menjawabnya dengan bijak. “Dek,” dengan lembut beliau memulai ucapannya. “Rasulullah adalah panutan dan suri tauladan yang patut kita contoh. Dulu, ketika Beliau menyebarkan agama islam tidak hanya gunjingan, ejekan, cacian-maki dan umpatan yang sering Beliau peroleh. Bahkan orang-orang kafir sering meludahi Beliau ketika sedang berfatwa, terkadang pula lemparan batu-batu kasar yang harus Beliau terima. Tapi apa, sedikit pun Beliau tidak pernah marah, apalagi sampai membenci orang-orang kafir tersebut. Beliau tetap tersenyum. Dan, Beliau tidak pernah membalas gunjingan, ejekan, caci-makian, umpatan, ludahan, serta lemparan batu-batu kasar yang melukai kulitnya. Tidak!!! Beliau tidak pernah membalasnya. Secuil pun, tidak pernah. Beliau justru bersabar dan tabah menghadapinya. Yah, Beliau hanya berserah diri kepada Allah mengenai perbuatan umatnya kala itu. Bahkan Beliau mendoakan umatnya agar dibukakan pintu hatinya dan kembali ke jalan yang terang. Aqidah yang benar.” Lanjutnya panjang lebar.

Sejenak guru agama itu berhenti. Lalu sekejab kemudian beliau meneruskannya lagi.

“Tahukah kamu, Dek! Ketika Baginda Nabi hendak meninggalkan kita semua. Apa pesan terakhir Beliau kepada sahabat Ali; ‘Ummati… Ummati… Ummati…’ Yah, begitulah Nabi kita mengulang-ulang pesannya yang sangat agung itu. Sampai tiga kali.”

“Terus… Apa hubungannya dengan perkataan mas tadi?” Dasar bego! Kenapa harus pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Bodoh… Goblok… Pergulatan batinku sedang bertempur dengan sifat keegoisan diri. Sepertinya, kesabaranku sudah mulai menipis. Suasana menjadi tegang seketika.

Tapi untunglah, beliau orangnya cukup bijak dan pengertian. Sehingga tidak perlu heran dengan pertanyaan dan ulahku yang bodoh itu. Dengan senyum khasnya beliau kembali mengajakku tenang. Damai. Dan, setelah suasana terasa nyaman, beliau pun bertutur dengan nada yang cukup lembut. Halus.

“Dek Wafie… Saya tidak bermaksud menghubung-hubungkan apalagi mencampur-aduk peristiwa di masa Rasul dengan peristiwa yang sering terjadi sekarang ini. Tapi yang saya inginkan dari perkataan tadi adalah; biar Adek tahu pentingnya kesabaran itu sendiri. Kesabaran yang telah dititahkan oleh Baginda Nabi. Bahwa kesabaran merupakan kunci ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dan dengan kesabaran itu pula kita akan meraih kemenangan hakiki. Kemenangan yang direstui sang Ilahi.” Sejenak beliau berhenti. Menghela nafas tinggi-tinggi. Kemudian…

“Jadi, Adek gak perlu pusing memikirkan kejadian-kejadian yang sering menimpa agama kita. Mulai dari jargon agama teroris sampai kepada Al-Qur’an yang sering disalah artikan. Seandainya seluruh jagat raya dan isinya berteriak tentang agama islam yang teroris, kandungan isi Al-Qur’an perkataan Muhammad belaka, dan sebagainya itu. Biarkan saja! Cukuplah, Adek sabar menghadapinya. Layaknya Rasulullah ketika menghadapi umatnya. Yang terpenting dari yang paling penting adalah, Adek tetap yakin dan percaya bahwa agama islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Dan Al-Qur’an adalah kalamullah yang abadi. Nah, dengan bersikap seperti itu sudah cukup. Tidak perlu membalas sebuah kebencian dengan kebencian pula. Itu tidak baik, Dek! Bukankah Allah akan melihat dan menyaksikan seberapa besar nilai kesabaran seorang hamba-Nya ketika dihadapkan dengan berbagai macam ujian dan cobaan. Benarkah, kita umat Muhammad sejati ataukah malah umat Fir’aun hakiki.”

Entahlah, aku kembali terdiam ketika beliau menerangkan makna kesabaran itu. Sungguh, aku tidak bisa berucap barang sedikit pun. Laiknya seorang prajurit yang ditegur oleh rajanya. Ia hanya bisa diam. Tanpa sepatah kata. Tertunduk. Dan patuh.

Melihatku seperti itu, akhirnya beliau mengangkat suara lagi. “Dek Wafie, kiranya cukup di sini dulu obrolan kita. Sekarang saya harus mengajar. Dan, Adek harus belajar. Ok?! Assalamu ‘alaikum…” Kemudian beliau beranjak pergi meninggalkanku sendiri.

Dalam diam aku melihat kepergiannya. Jalannya segagah mendiang Abah. Kata-katanya sebijak mendiang Abah. Sifatnya sesopan mendiang Abah. Semuanya tak ada yang beda. Sama. Dalam diam pun aku menjawab salamnya. “Wa’alaikum salam…”

Tak terasa sudah dua jam berlalu. Aku dan beliau berdiri di tempat ini sejak tadi. Sejak mentari menertawai seluruh isi bumi. Sekarang matahari berada di atasku. Menyengat ubun-ubun kepalaku. Merambah sekujur tubuh. Keringat pun sedikit demi sedikit mengucur membasahi seragam sekolahku.

Di ruang guru, teman-teman pada berebutan menerima ijazahnya. Ada yang ceria, pun juga ada yang sedih. Entahlah, apakah karena nilainya tinggi atau malah sebaliknya. Dan tiba-tiba… Guru yang membagi-bagikan kertas ijazah itu menyebut namaku. “Wafie.”

Aku tersentak. Perasaan masih gamang. Tanpa larut dalam lamunan, aku pergi menghampirinya. Kuambil selembar kertas ijazah itu. Dan seperti biasa, kucium tangannya. “Nak. Kamu kalau bertemu dengan para ulama, kiyai, juga guru kamu, baik di sekolah, di tempat pengajian ataupun di mana saja. Ciumlah tangan mereka. Jangan lupa ya, Nak! Cium. Karena mencium tangan mereka sama halnya kamu mencium tangan Nabi.” Ya. Seperti itulah mendiang Abah selalu mengingatkanku sebelum aku berangkat sekolah. Setiap hari.

Entahlah, setiap aku bertemu dengan orang-orang yang kuhormati, pesan itu selalu mengiang di telingaku. Seolah-olah mendiang Abah datang menghampiriku seraya berucap lirih kepadaku. Lembut. Dan halus. Selembut permadani. Sehalus sutera.

“Abah… Lihatlah anakmu sekarang. Akhirnya, selama tiga tahun lamanya anakmu memperoleh juga selembar kertas ijazah sekolah.” Kataku menatap langit yang cerah. Dengan senyum gembira.

“Berapa nilai ijazahmu, duhai anakku.” Suara itu datang entah dari mana. Tapi aku mendengarnya. Cukup jelas. Seperti suara manusia. Aku menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang. Tapi, tidak ada seorang pun di sana.

“Benarkah itu suaramu, Abah?” Tanyaku heran.

Dan… “Berapa nilai ijazahmu, duhai anakku.” Kembali suara itu terdengar di telingaku. Jelas sekali.

“Benarkah itu, Abah!” Gumamku. Tidak mungkin, Abah telah meninggal. Masak iya, orang yang sudah mati bisa bicara dengan orang yang masih hidup. Tapi, suara itu…

Dan seketika. “Berapa nilai ijazahmu, duhai anakku.” Lagi. Lagi. Dan lagi. Suara itu sudah tiga kali terdengar sangat jelas di gendang telingaku. Saat itu juga aku yakin, bahwa itu suara Abah. Siapa lagi kalau bukan Abah. Kemudian, tanpa berpikir panjang aku langsung menyimak dengan seksama semua nilai yang tertulis dalam ijazahku.

Mataku terbelalak. Nanar. Kakiku mengambang. Lentur.

Lihat. Nilai ijazahku semuanya rata-rata 5,86. Tidak lebih. Pun juga tidak kurang.

Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. Mengucur deras. Dan, tangis pun tumpah di sudut sekolah. Badanku menjadi lemas seketika. Tak bertenaga. Tubuhku terkulai. Roboh. Tak sadarkan diri.

Dan, tiba-tiba dalam gelap aku melihat cahaya. Cahaya itu menghampiriku. Makin dekat. Dekat. Dan dekat. Entahlah, siapakah gerangan cahaya itu. Malaikat-kah, Jin-kah, Setan-kah atau Abah-kah. Aku tidak tahu! Yang kutahu, cahaya itu berkata kepadaku;

“Duh, Nak! Bukankah gurumu telah mengajarkan pentingnya sifat kesabaran dalam menghadapi dan menerima cobaan. Tapi kenapa kamu kok malah bersedih. Apakah kamu tidak ikhlas merima nilai yang diperoleh dari hasil kerjamu sendiri. Nak… Sebagai manusia mestinya kamu harus sabar. Kuulangi, sabar. Karena hanya dengan bersabar itulah Allah akan melihatmu tersenyum bangga. Ya. Tersenyum bangga, Nak!”

Setelah berkata demikian, cahaya itu pergi meniggalkanku. Makin jauh. Jauh. Dan jauh. Hingga lenyaplah di ujung kelopak mataku.

Dan, aku hanya bisa termangu.

Rabu, 19 Mei 2010

info bagi pengguna mozzila

nih ada tips buat hack mozilla firefox biar ngebut...

1. Buka Mozilla.

2. Ketikan di address bar "about:config" (tanpa tanda patik).

3. Scroll mouse anda kebawah dan cari "network.http.max-connections", double klik dan masukan nilai "64".

4. Cari "network.http.max-connections-per-server", double klik dan masukan nilai "21".

5. Cari 'network.http.max-persistent-connections-per-server", double klik dan masukan nilai "8".

6. Double klik pada "network.http.pipelining " menjadi "true".

7. Cari "network.http.pipelining.maxrequests", double klik dan masukan nilai "100".

8. Double klik pada "network.http.proxy.pipelining" menjadi "true".

9. Langkah terakhir, klik kanan dimana saja pilih : New >> integrar >> lalu tulis "nglayout.initialpaint.delay" (tanpa tanda petik". Kemudian masukan nilai "0".

sumber : blogspot org ...
integrar mungkin integer... ok.. lmayan nmbah da